Sunday, October 26, 2014

Soekaboemi Tempo Doeloe

NYUCRUK GALUH (SEJARAH SUKABUMI)
Terima kasih kepada: Andri Kurniawan dan berbagai sumber lain di google.


Tulisan ini sudah berulang kali dibahas di google maupun media sosial lainnya, menimbulkan ketertarikan atas masa lampau atau lebih populer dengan istilah Tempo Doeloe. Baiklah mari kita mulai perjalanan flashback kita.
Pendopo Kabupaten Sukabumi tahun 1906
Rumah Sakit Bunut sekarang RS. R.Syamsudin, SH

Toko ABC, sekarang depan Yogya Dept.Store
AKABRI, Sekarang SETUKPA POLRI (SECAPA) Jl. Bhayangkara
Kantor Walikota Sukabumi, Walikotapradja
Capitol, Jl. Ahmad Yani
Lokomotif "Gomar" di Staasion Soekaboemi
Plaboean Staad (Sekarang Jalan Pelabuhan)
Masjid Agoeng depan Alun-alun Sukabumi
Nama “SOEKA-BOEMI” pertama kali diperkenalkan pada tanggal 13 Januari 1815 ke dunia luar Sukabumi oleh administratur perkebunan bernama Andries Christoffel Johannes de Wilde, seorang berkebangsaan Belanda yang menjelajah di Sukabumi untuk mencari lokasi tanah yang cocok untuk perkebunan. Yang dalam laporan surveynya, Andries Christoffel Johannes de Wilde mencantumkan nama Soeka Boemi (dalam dua suku kata) sebagai tempat ia menginap di kampung Tji Colle. Ada yang mengatakan bahwa nama Sukabumi berasal dari bahasa Sunda, yaitu Suka-Bumen, yang bermakna bahwa pada kawasan yang memiliki udara sejuk dan nyaman ini membuat orang-orang sukabumen-bumen atau menetap. Penjelasan yang lebih masuk akal adalah bahwa nama "Sukabumi" berasal dari bahasa Sansekerta suka, "kesenangan, kebahagiaan, kesukaan" dan bhumi, "bumi". Jadi "Sukabumi" artinya "bumi kesukaan".
Pada masa pemerintahan Bupati Cianjur VI, yaitu Rd. Noh (Wiratanoedatar  VI), tepatnya pada tahun 1776, dalam wilayah Kabupaten Cianjur diangkat seorang Patih yang membawahi Distrik Gunungparang, Distrik Cimahi, Distrik Ciheulang, Distrik Cicurug, Distrik Jampangtengah, dan Distrik Jampangkulon. Pusat Pemerintahannya terletak di Cikole.  Dipilihnya Cikole sebagai pusat kepatihan sehubungan lokasi itu sangat strategis bagi komunikasi antara Priangan dan Batavia (Jakarta).
Selain itu, Cikole merupakan tempat yang nyaman bagi peristirahatan serta memiliki potensi ekonomi yang cukup tinggi, khususnya di bidang perkebunan. Oleh karena itu, atas usul para Pimpinan Bumi Putera, Andries de Wilde yang menjabat administratur pada masa Gubernur Jenderal Sir Thomas Raffles, pada tanggal 8 Januari 1815 mengubah nama Cikole menjadi Sukabumi  berasal dari bahasa Sunda, yaitu Suka dan bumi.
Menurut keterangan, mengingat udaranya yang sejuk dan nyaman, mereka yang datang ke daerah ini tidak ingin pindah lagi, karena suka atau senang bumen-bumen atau bertempat tinggal di daerah ini. Pada saat itu, daerah Sukabumi dikenal sebagai tempat peristirahatan bagi para petinggi perkebunan Belanda. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila Belanda mendirikan pusat perkantoran di Sukabumi untuk mengurus perkebunan yang tersebar di beberapa tempat. Tempat peristirahatan yang dibangun dalam waktu singkat menjadi tempat favorit bagi para petinggi perusahaan perkebunan Belanda, kemudian mengubah tempat peristirahatan itu menjadi hotel.
Sejak tahun 1865, daerah Sukabumi semakin berkembang dengan pesat, sehingga pada tahun 1914 tercatat penduduk yang berasal dari Eropa berjumlah 600 orang dan penduduk asli yang bersuku Sunda dan suku bangsa lainnnya sekitar 14.400 orang.
Sebelum berstatus kota, Sukabumi hanyalah dusun kecil bernama "Goenoeng Parang" (sekarang Kelurahan Gunungparang) lalu berkembang menjadi beberapa desa seperti Cikole atau Parungseah. Lalu pada 1 April 1914, pemerintah Hindia Belanda menjadikan kota Sukabumi sebagaiBurgerlijk Bestuur dengan status Gemeente (Kotapraja) dengan alasan bahwa di kota ini banyak berdiam orang-orangBelandadan Eropa pemilik perkebunan-perkebunan yang berada di daerah Kabupaten Sukabumi bagian selatan yang harus mendapatkan pengurusan dan pelayanan yang istimewa.
Sejak ditetapkannya Sukabumi menjadi Daerah Otonom pada bulan Mei 1926, maka resmi diangkat “Burgemeester” yaitu Mr. G.F. Rambonnet. Pada masa inilah dibangun Stasiun Kereta Api, Mesjid Agung, gereja Kristen Pantekosta; Katholik; Bethel; HKBP Pasundan, pembangkit listrik Ubrug; centrale (Gardu Induk) Cipoho, Sekolah Polisi Gubernemen yang berdekatan dengan lembaga pendidikan Islam tradisional Gunung Puyuh.
Setelah Mr. G.F. Rambonnet memerintah, terdapat tiga “Burgemeester” sebagai penggantinya, yaitu Mr. W.M. Ouwekerk, Mr. A.L.A. van Unen, dan Mr. W.J.Ph. van Waning.

Saturday, October 18, 2014

Kami dan Kereta Api




Entah kami saja,  Maksudku, aku dan kedua anakku, atau mungkin masih banyak keluarga yang lain juga menyenangi segala hal tentang kereta api.
Aku merasa senang dan nyaman jika berada di lingkungan yang dekat dengan jalan kereta api, ada kebahagiaan tersendiri saat melihat kereta api lewat. 
Print Screen dari google satelite

Mungkin karena aku dibesarkan di desa yang dilewati jalur kereta api, rumahku persis di depan jalan dan persimpangan kereta api.
 
Ternyata kedua anakku memiliki perasaan yang sama, setiap kali ada kesempatan dan waktu luang kami sempatkan untuk melihat kereta api, stasiun atau jalan kereta.
Segala tentang kereta api menarik perhatian kami, jadi kuputuskan jika suatu saat nanti ada rezeki dan ada kesempatan mungkin aku ingin menikmati masa pensiunku tinggal di dekat jalan kereta api atau meskipun agak jauh namun bisa melihat lewatnya kereta api.

Gunung Gombong (Gombong National Park) Gegerbitung Sukabumi

Gunung Gombong, sebenarnya lebih tepat untuk disebut bukit besar yang berada di pegunungan antara perbatasan kabupaten cianjur dengan sukabumi, tepatnya di Kecamatan Gegerbitung Kabupaten Sukabumi. Dari pusat Kota Sukabumi berjarak kurang lebih 20km.
Topografisnya yang berbukit dan cukup tinggi menyajikan pemandangan alam yang indah ke arah Gunung Gede dan hamparan kota Sukabumi.

Menurut sejarah perkembangan Islam di daerah Jawa Barat, Gunung Gombong merupakan salah satu tempat "pamijahan", ada pula yang mengatakan bahwa di puncaknya terdapat area pemakaman Syekh Aulia Mahmud RA., namun sebagian lain mengatakan bahwa itu merupakan tempat beliau bertirakat mendekatkan diri kepada Sang Khalik.
Pada masa sebelum reformasi, yaitu era tahun 90'an, jika kita mendaki kesana akan disambut oleh banyak sekali monyet dan oa (masih satu kerabat primata) disertai kicauan burung saling bersahutan dan tupai yang berlompatan. Namun kini jarang sekali kita jumpai sambutan natural fauna disana, akibat kesadaran hukum yang kurang dan wibawa aparat yang menurun hingga berdampak pada sulitnya pengendalian dan perlindungan terhadap habitat mereka.
Walaupun bagaimana Gunung Gombong masih ada dan kewajiban kita untuk menjaganya, konservasi hutan termasuk pelestarisan flora dan fauna belum terlambat untuk lebih diperketat demi keberlangsungan pelestarian alam Gunung Gombong.
 
Gunung gombong sendiri memiliki beberapa mata air dan air terjun di dalam hutannya, disebelah bawah serta lerengnya dihiasi persawahan model trasering serta sebagian digunakan sebagai "huma" atau lahan menanam padi di pegunungan dengan pengairan minimal, karena iklim sekitarnya cukup sejuk dalam radius dibawah 1km.
Semoga generasi kita serta generasi penerus kita dapat membantu terwujudnya kelestarian lingkungan dan ekosistem di Gunung Gombong.

Mahoni Leisure Pondok Mahoni Pamoyanan Sukaraja

Mahoni Leisure bisa di tempuh kurang lebih 10 menit dari terminal Sukaraja,tepat di depan perum Grand Sutra yang setiap harinya buka da...